Seminar_CC_Thumbnail

Calvin Colloqium: Kekerasan Seksual Dalam Dunia Pendidikan

Dalam rangkaian acara peluncuran Fakultas Bisnis, Manajemen, dan Humaniora, Calvin Institute of Technology (CIT) mengadakan seminar publik dalam Calvin Colloquium 2024. Seminar diadakan selama empat hari berturut-turut mulai 22-25 April 2024, di Kapel Hosana, Reformed Millenium Center Indonesia, Jakarta dan dihadiri oleh masyarakat publik, baik dari dalam maupun luar Jabodetabek, serta Sivitas Akademika Calvin Institute of Technology.

Seminar ini mendiskusikan beberapa topik mengenai integrasi Iman Kristen dan bidang-bidang kehidupan dengan mendatangkan berbagai pembicara ahli yang telah menjadi praktisi selama puluhan tahun di dalam bidang teknologi, kekerasan seksual, globalisme, dan populisme. Pada topik kekerasan seksual dengan tema “Kekerasan Seksual dalam Dunia Pendidikan” disampaikan oleh Novita Tandry M.Sc.Psy., seorang psikolog anak, remaja, dan keluarga.

Beliau mendapatkan gelar bachelor dalam bidang psikologi dan master dalam bidang psikologi anak dari University of New South Wales, Sydney, Australia, dan telah bekerja sebagai psikolog dan pendidik selama lebih dari 29 tahun. Saat ini beliau tengah menempuh gelar magister hukum untuk membantu korban-korban kekerasan seksual yang rentan mengalami ketidakadilan hukum dalam penanganan kasus.

Dalam seminarnya, beliau menegaskan urgensi mengenai kekerasan seksual, serta mengajak seluruh peserta seminar mendalami topik kekerasan seksual dari berbagai aspek, seperti bagaimana cara mencegah kekerasan seksual terjadi di lingkungan kita, dan apa yang harus dilakukan jika kita melihat atau mengalami kekerasan seksual.

Hal pertama yang dipaparkan beliau adalah terminologi pelecehan seksual dan kekerasan seksual. Kekerasan seksual sendiri sebenarnya adalah bagian dari pelecehan seksual yang tidak bersifat pemerkosaan, dan memiliki cakupan yang luas. Tetapi kata kunci yang menjadi indikator suatu kekerasan adalah paksaan. Kegiatan apa pun yang mengandung paksaan adalah kekerasan.

Hal kedua yang menjadi fokus adalah skenario paling umum dalam kasus kekerasan seksual, yaitu ketimpangan relasi kuasa. Apa itu “ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender”? Menurut Komnas Perempuan (2017), “ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender” adalah sebuah keadaan terlapor menyalahgunakan sumber daya pengetahuan, ekonomi dan/ atau penerimaan masyarakat atau status sosialnya untuk mengendalikan korban.

Di dalam lingkungan kampus, ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender yang dimaksud dapat terjadi dalam posisi rektor terhadap dosen dan staf, dosen dan staff terhadap mahasiswa, maupun rektor terhadap mahasiswa.

Beliau mengatakan bahwa pelaku kekerasan seksual merupakan 80% dari orang yang dikenal oleh korban, termasuk orang-orang dengan relasi kuasa ini. Motif seperti ini tak jarang dimanfaatkan oleh pelaku yang mengetahui latar belakang korban, misalnya korban yang merantau jauh dengan keluarga, tempat tinggal korban, dan/atau korban yang memiliki masalah dalam keluarga. Hal ini yang menjadi celah bagi pelaku untuk dapat mengeksploitasi korban, sehingga mengakibatkan penderitaan psikis dan/atau fisik, termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilangnya kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.

Hal ketiga, beliau menyampaikan bahwa angka kasus kekerasan seksual yang tersedia sekarang sebenarnya hanyalah puncak dari gunung es (tip of the iceberg).

  • Survey Kementerian Pendidikan dan Kebudayan pada tahun 2020 menyatakan bahwa 77% responden dari kalangan dosen mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 60% dari angka tersebut tidak melaporkan tindakan kekerasan seksual.
  • Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2022) mencatat terjadinya 4.660 kasus kekerasan seksual di Indonesia, dan 27% di antaranya terjadi di perguruan tinggi.
  • Laporan WHO (2022) juga menyatakan bahwa 9 dari 10 korban tidak melapor karena berbagai alasan, seperti ketakutan terhadap ancaman pelaku, hingga stigma negatif yang menyerang dari masyarakat.

Beliau berkata, dari data-data diatas bisa disimpulkan bahwa angka asli tentang kasus kekerasan seksual ini nyatanya bisa jadi 10 kali lipat lebih besar dari data yang dihimpun.

Iceberg_Ilustration

Poin penting lain yang disampaikan beliau adalah bagaimana alur proses pelaporan dan investigasi dapat memperparah trauma yang dialami korban. Korban seringkali harus menceritakan pengalaman traumatis mereka secara berulang-ulang kepada berbagai pihak seperti psikolog, polisi, dan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Belum lagi berdasarkan kasus-kasus yang beredar dan pernah dihadapi oleh beliau, korban seringkali mengalami ketidakadilan dan tidak mendapat perlindungan serta pendampingan yang layak. Prosedur dan kenyataan seperti ini membuat banyak korban enggan untuk berbicara atau melapor.

Beberapa kasus harian yang terjadi didalam lingkungan kampus juga dibahas dalam seminar ini, seperti kasus oral seks yang melibatkan seorang mahasiswa dan dosen dalam sebuah perguruan tinggi. Kasus ini telah berjalan 4 tahun namun tidak mengalami titik temu, bahkan berujung korban akhirnya dikucilkan serta dikeluarkan dari perguruan tinggi meskipun telah melaporkan sesuai prosedur.

Kasus kedua adalah pengabaian terhadap penindaklanjutan kasus kekerasan seksual, meskipun kasus tersebut sudah dilengkapi dengan hasil visum, video kesaksian, dan laporan polisi yang mendukung. Akhirnya, kasus tersebut harus diviralkan di media sosial dengan harapan agar bisa ditindaklanjuti. Kedua kasus ini menjadi bukti bahwa perlindungan terhadap korban sering kali tidak ditegakkan, sehingga korban merasa tidak aman dan menarik diri untuk melaporkan.

Pencegahan & Penanganan

Beberapa hal yang dapat dilakukan di lingkungan kampus sebagai upaya bentuk pencegahan kekerasan seksual:

  1. Membatasi pertemuan antara mahasiswa dengan tenaga pendidik di luar jam kampus.

    Membatasi pertemuan adalah cara yang paling efektif untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual. Hindari membuat pertemuan yang tidak perlu diluar lingkungan kampus dan usahakan untuk selalu melakukan pertemuan di ruangan yang menggunakan kaca.

     

  2. Membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di kampus.
    Satgas PPKS menjadi kunci dalam menghadapi atau meresponi terkait kekerasan seksual di lingkungan kampus. Karena satgas tidak hanya bertugas untuk melakukan berbagai tindak pencegahan seperti sosialisasi dsb., tetapi juga menangani korban, termasuk mereka yang terhambat proses pendidikannya karena pernah menjadi korban kekerasan seksual di jenjang pendidikan sebelumnya.

Cakupan dan tindakan untuk korban kekerasan seksual dalam lingkup sivitas akademika kampus:

  1. Pendampingan berupa konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, dan advokasi.
    Penanganan trauma yang timbul akibat kekerasan seksual membutuhkan waktu yang cukup lama, baik fisik dan mental korban. Oleh karena itu sangat diperlukan konseling dan layanan kesehatan selama proses pemulihan korban. Selanjutnya, korban kekerasan seksual yang terjadi akibat relasi kuasa akan sangat sulit untuk diacuhkan sehingga perlu diberikan dukungan baik berupa bantuan hukum dan advokasi.
  1. Perlindungan terhadap korban dalam menjalani pendidikan di perguruan tinggi.
    Menjadi hal yang harus diutamakan untuk memastikan mereka dapat melanjutkan pendidikan dengan aman dan tanpa trauma lebih lanjut.
    Segala hal yang berkaitan dengan korban baik kerahasiaan identitas maupun informasi harus dilindungi. Hal ini bertujuan agar korban bisa melanjutkan pendidikan dengan aman dan tanpa trauma lebih lanjut.
  1. Perlindungan dari ancaman kepada korban, penyediaan rumah aman, serta perlindungan dari gugatan pidana atau perdata.
    Korban memerlukan tempat yang aman dan nyaman selama masa pemulihan. Rumah aman diperlukan tidak hanya untuk itu, tetapi juga untuk mengurangi potensi ancaman fisik kepada korban.

Beliau menyimpulkan bahwa kekerasan seksual di lingkungan pendidikan merupakan masalah serius yang membutuhkan perhatian dan tindakan tegas dari semua pihak.

Terdapat satu poin yang tidak kalah menarik yang perlu menjadi perenungan setiap peserta yaitu timbulnya kasus-kasus kekerasan seksual di dalam pendidikan tinggi sebenarnya merupakan produk dari kegagalan tindakan preventif lembaga keluarga. Menurutnya, usia dini adalah tahap paling penting untuk dibekali dengan pendidikan seksual, agar anak bisa mengenali batasan-batasan fisik yang wajar dan/atau tindakan yang harus dilakukan saat menjadi korban pelecehan maupun kekerasan seksual.

Salah satu praktik pendidikan anak yang buruk menurut Ibu Novita adalah penggunaan istilah-istilah eufemistis seperti “burung” untuk penis dan “kue apem” untuk vagina.

Menurutnya, lebih baik menyebutkan organ seksual dengan nama sebenarnya untuk menghindari konsep pemikiran pada anak bahwa bagian privasi tubuh tidak penting dan tidak patut dilindungi. Kehadiran (presence) dari orang tua sekali lagi menjadi sorotan beliau karena itu hal yang terpenting untuk menghindari anak menjadi calon dari korban kekerasan seksual.

    Sesi Q&A

    Bagaimana cara bersikap netral tanpa merendahkan korban kekerasan seksual?

    Sebagai pihak netral, perlu diingat untuk tidak memiliki atau mengambil alih kepentingan baik terhadap korban, maupun pelaku. Melakukan validasi perasaan korban tanpa memberikan komentar yang menghakimi adalah tindakan yang sangat penting. Sikap netral berarti harus lebih banyak mendengarkan dan menawarkan bantuan profesional, tanpa memberikan komentar yang dapat menyalahkan korban, seperti pertanyaan tentang pakaian atau situasi saat kejadian.

      Bagaimana korban dapat berani melapor di tengah stigma sosial?

      Ibu Novita mengakui bahwa melapor memang proses yang panjang dan berat, yang sering kali tidak didukung oleh lingkungan sosial. Beliau menekankan pentingnya dukungan keluarga besar untuk mendampingi korban melalui prosedur pelaporan. Hal ini dibutuhkan guna mengurangi beban psikologis dan memberikan kekuatan moral kepada korban dalam mencari keadilan.

        Apakah cat-calling termasuk pelecehan seksual?

        Cat-calling dianggap sebagai bentuk pelecehan seksual karena melibatkan siulan, tatapan mata, dan gestur tubuh yang tidak diinginkan oleh korban. Untuk mengekspresikan kekaguman, sebaiknya menggunakan cara yang tidak melibatkan sentuhan atau siulan yang tidak sopan.

          Bagaimana jika pelaku menormalisasi kekerasan seksual?

          Kekerasan seksual selalu melibatkan unsur paksaan dan tanpa persetujuan. Jika korban akhirnya menerima karena tidak ada pilihan lain, maka hal ini tetap dianggap kekerasan seksual. Normalisasi oleh pelaku tidak menghapus fakta bahwa tindakan tersebut adalah paksaan.

          Apa yang dapat dilakukan jika kampus tidak menanggapi kekerasan seksual dengan serius?

          Jika kampus tidak memberikan respon yang memadai, mahasiswa dan warga kampus lainnya harus berusaha membentuk kebijakan yang lebih tegas dan mendorong pihak kampus untuk bekerja sama dengan instansi terkait. Tanpa sanksi yang jelas dan efek jera, kasus kekerasan seksual akan terus terjadi.

          Bagaimana memastikan laporan korban kekerasan seksual ditindaklanjuti dengan baik?

          Korban harus didukung oleh psikolog yang profesional dan ditunjuk oleh instansi terkait. Proses pemeriksaan harus menyeluruh melibatkan aspek kesehatan fisik dan mental, untuk memastikan bahwa laporan tersebut valid dan ditindaklanjuti secara serius oleh pihak berwenang.

          Satuan Tugas Pencegahan dan
          Penanganan Kekerasan Seksual

          Calvin Institute of Technology

          Contact us

          0822 8047 1807

          info@ppks.calvin.ac.id

          Satuan Tugas Pencegahan dan
          Penanganan Kekerasan Seksual

          Calvin Institute of Technology

          Contact us

          0822 8047 1807

          info@ppks.calvin.ac.id

          Satuan Tugas Pencegahan dan
          Penanganan Kekerasan Seksual

          Calvin Institute of Technology

          Contact us

          0822 8047 1807

          info@ppks.calvin.ac.id